FMenyusul petisi oleh tiga individu dan tiga organisasi sipil, Mahkamah Konstitusi Indonesia menyatakan UU No. 11 Tahun 2020 – Omnibus Law Cipta Kerja, yang disahkan oleh parlemen pada Oktober 2020 untuk merevisi 78 undang-undang dan peraturan – sebagai inkonstitusional.
Pengadilan juga meminta pemerintah Indonesia untuk merevisi undang-undang tersebut dalam waktu dua tahun, meninggalkan banyak pertanyaan bagi para pengacara dan klien mereka. “Keputusan itu memang membuat bingung investor asing untuk berbisnis di Indonesia, apalagi ada kemungkinan kita akan kembali ke situasi sebelum Omnibus Act jika anggota parlemen gagal memperbaikinya dalam dua tahun,” kata Ruben Soeratman, partner di Nurjadin Sumono Mulyadi & Rekan.
Soeratman menjelaskan, undang-undang yang diamandemen dengan omnibus law terdiri dari 11 kelompok, yaitu peraturan tentang kelonggaran perizinan, pertumbuhan investasi, ketenagakerjaan, penelitian dan inovasi, pemberdayaan dan perlindungan usaha kecil menengah dan koperasi, kemudahan berusaha, administrasi publik, pertanahan. akuisisi, pengenaan sanksi dan denda, investasi publik, proyek strategis nasional, dan kawasan ekonomi.
“Sektor-sektor yang terkena dampak keputusan baru-baru ini adalah 11 klaster,” kata Soeratman.
Namun, Luky Walalangi, mitra pengelola di Walalangi & Rekan di Jakarta, kata MK hanya fokus pada cacat prosedural dalam penetapan omnibus law.
“Pengadilan tidak serta merta membatalkan omnibus law, tetapi memerintahkan pemerintah dan DPR untuk merevisinya dalam waktu dua tahun, dan jika tidak ada revisi dalam jangka waktu yang ditentukan, omnibus law dianggap inkonstitusional dan tidak sah secara permanen,” kata Walangi.
Selama kurun waktu dua tahun, jelasnya, omnibus law tetap berlaku, namun pemerintah tidak boleh mengeluarkan peraturan pelaksana yang baru. Semua izin usaha yang telah dikeluarkan sebelum putusan pengadilan akan tetap berlaku penuh.
“Namun, masih harus dilihat apakah pemerintah akan mengambil pendekatan konservatif dan menangguhkan semua aplikasi izin usaha di masa depan di bawah Omnibus Act, meskipun ini tidak mungkin terjadi mengingat sikap positif pemerintah yang terus berlanjut terhadap investasi,” kata Walalangi. “Alasannya adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap sistem hukum dan bisnis Indonesia.”
Denny Rahmansyah, Mitra di Konsultan Hukum SSEK, setuju bahwa investor asing sebagian besar tidak akan terpengaruh selama masa transisi ini, karena 51 peraturan pelaksanaan masih akan berlaku dan berlaku penuh.
“Peraturan perizinan berbasis risiko untuk investor kemungkinan besar akan tetap utuh, dan tidak akan berpengaruh pada operasi bisnis,” kata Rahmansyah. “Namun, kami mencatat bahwa masih ada ketidakpastian atas hasil keputusan MK, menempatkan investor pada posisi harus menunggu dan melihat implikasi dari setiap revisi Omnibus Act.”
Rahmansyah mencatat ada beberapa sektor yang terkena dampak Omnibus law. Misalnya, sebelum berlakunya Omnibus Law, UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 mengakui adanya kegiatan subkontrak dan outsourcing tenaga kerja atau jasa.
“Dengan berlakunya omnibus law, outsourcing tidak lagi diakui sebagai cara memberikan layanan,” kata Rahmansyah. “Oleh karena itu, kami mencatat bahwa dalam hal terjadi revisi Omnibus Act, ketentuan outsourcing di atas dapat diubah dan/atau ditambah peraturan.”
Merujuk pada prinsip hukum umum yang berlaku di Indonesia, Pramudya Oktavinanda, Managing Partner UMBRA, mengatakan peraturan pelaksanaan apapun tidak dapat dianggap batal tanpa adanya keputusan final dan mengikat dari Mahkamah Agung.
Artinya peraturan pelaksanaan ini akan tetap berlaku kecuali Mahkamah Agung memutuskan lain, kata Oktavinanda. “Jika pemerintah dicegah untuk mengeluarkan peraturan pelaksanaan sesuai dengan Omnibus Act, sementara peraturan pelaksanaan yang ada dianggap batal demi hukum, konsekuensi yang merugikan bagi kepastian hukum kita tidak terbayangkan.”
Dari segi hukum yang tegas, Oktavinanda menilai bahwa putusan MK sebenarnya merupakan kemenangan besar bagi pemerintah dan DPR, karena mereka akan memiliki cukup waktu untuk membenahi aspek-aspek formal undang-undang tersebut, memastikan bahwa hal itu adalah “benar” konstitusional. pada akhir hari.
Oktavinanda menjelaskan, perintah Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan strategis baru dan peraturan pelaksanaannya tidak bisa dilaksanakan karena beberapa alasan.
“Perintah seperti itu tidak sesuai dengan putusan MK bahwa omnibus law masih berlaku untuk dua tahun ke depan,” katanya. “Jika suatu undang-undang dianggap sah, tidak ada artinya jika ketentuannya tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan perintah paradoks yang tidak dapat ditegakkan.
“Yang terpenting, MK tidak punya kewenangan untuk mencegah pemerintah menerapkan kebijakan atau peraturan baru ini, dan juga tidak punya kewenangan untuk memaksakan perintah yang tidak sah itu jika pemerintah tidak mematuhinya,” katanya.
“Sarjana makanan bersertifikat. Pencinta internet. Guru budaya pop. Gamer yang tidak menyesal. Penggemar musik fanatik.”