Informasi Iklim: Mempelajari Tanda Alam Seperti Petani – Indonesia

Informasi Iklim: Mempelajari Tanda Alam Seperti Petani – Indonesia

Yen lemahe wis empuk, tangane megar” adalah salah satu kearifan lokal yang masih banyak diterima oleh petani di dusun Ngoro-oro, desa Giriasih, kecamatan Purwosari, Gunungkidul untuk menentukan kapan masa tanam dimulai, apakah tanahnya lunak karena hujan, maka sudah waktunya. bekerja. Petani menggunakan pengetahuan secara turun temurun dengan memperhatikan kelembaban tanah dimana jika hujan membasahi tanah hingga kedalaman 1 cangkul (30 cm), petani akan mulai menabur benih. Namun, curah hujan yang tidak menentu membuat petani sulit memprediksi waktu yang tepat untuk mulai menabur.

Perubahan iklim berdampak pada masyarakat dan meningkatkan risiko bahaya hidrometeorologi seperti banjir, angin topan, kekeringan, dan tanah longsor. Bagi petani, perubahan iklim juga berdampak pada pertanian dan mengancam mata pencaharian mereka. Fenomena La Nina yang terjadi sejak September 2022 dan diperkirakan akan berlangsung hingga Maret 2023 menyebabkan curah hujan yang sangat deras dan berdampak pada produksi pertanian. Informasi ini dibahas selama pertukaran pembelajaran antara masyarakat dan peneliti iklim. Sebagai bagian dari method Community Leadership for Global Effect, Jaringan World Organisasi Masyarakat Sipil untuk Pengurangan Bencana (GNDR) memfasilitasi pertukaran pembelajaran selama 2 minggu antara peneliti iklim Dr Thomas Wijaya dan dua komunitas petani di Gunungkidul, Kelompok Tani Ngudi Mulya di Dusun Ngoro-oro dan Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati di Dusun Watu Gajah – dua kelompok tani yang didukung oleh device darurat YAKKUM (YEU).

Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan untuk menghimpun kearifan lokal tentang bagaimana masyarakat mengelola lingkungan dan memahami perubahan iklim serta konsekuensinya. Tidak hanya dengan komunitas, pertukaran pengetahuan juga dilakukan dengan aktor lokal seperti organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Ini adalah tentang mencerminkan dan mendukung tindakan untuk mengatasi perubahan iklim, serta mendokumentasikan bukti bahwa pertukaran pengetahuan dari berbagai aktor dapat mengarah pada solusi efektif untuk mengatasi perubahan iklim.

READ  Indonesia dan Korea Selatan dalam Pembicaraan tentang Bali LRT, MRT Jakarta - Bisnis

Melalui kegiatan ini, kelompok tani yang awalnya tidak mengenal istilah terkait iklim seperti La Nina menjadi lebih sadar akan istilah tersebut. Dialog tentang pengetahuan lokal dan ilmiah memperkuat kearifan masyarakat lokal untuk ramah dan melindungi alam. Beberapa petani menggunakan pengetahuan lokal dan tanda-tanda alam, seperti suara guntur, a suweg tanaman yang tumbuh dan mengeluarkan bau busuk, pohon kapuk yang kehilangan daunnya, dan lain-lain, untuk menentukan awal musim tanam.

Petani juga akrab dengan tradisional pranata mangasa sistem kalender di mana penanaman harus dimulai di “kapat” atau Oktober. Beberapa petani juga sudah terbiasa menggunakan smartphone untuk bertukar informasi, termasuk dengan penyuluh pertanian. Namun, umumnya petani tidak mengunduh aplikasi BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) untuk prakiraan cuaca atau informasi terkait pertanian, seperti KATAM (Sistem Kalender Tanam Terpadu) yang dikembangkan Kementerian Pertanian. Istilah dan informasi terkait iklim harus disebarluaskan di antara masyarakat lokal melalui berbagai saluran mulai dari radio hingga telepon pintar.

Hasil diskusi antara masyarakat dan ahli iklim menyimpulkan bahwa pengetahuan lokal meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan alam dan penting dalam kombinasi dengan pengetahuan ilmiah. Penting agar informasi risiko dari BMKG diterjemahkan ke dalam bahasa yang sederhana dan praktis bagi petani dan pelaku lokal. Di sinilah para pekerja lapangan dari instansi pemerintah, LSM, peneliti dan organisasi masyarakat dapat berperan dalam mentransfer informasi.

Selain smartphone, petani juga sudah tidak asing lagi dengan alat pengukur hujan. Di Kecamatan Purwosari hanya ada satu alat pengukur hujan. Kelompok tani Ngudi Mulya dilatih dan memasang alat pengukur bayangan sederhana di lahan mereka. Namun, pencatatan manual tidak selalu rutin. Bagi petani, mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang harus diantisipasi adalah penting untuk mengurangi risiko akibat kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi.

READ  Pencarian kapal selam Indonesia berfokus pada tumpahan minyak di Bali

Masyarakat juga menjaga hutan karena mereka sadar akan fungsi hutan untuk menyimpan air, mencegah erosi dan menghasilkan pendapatan terutama untuk kayu. Sebagian besar petani di kedua komunitas menggabungkan tanaman komersial (padi, jagung, kedelai, paprika, kacang tanah) dan pohon kayu seperti akasia, jati dan mahoni di ladang mereka. Pohon-pohon ini dipandang sebagai tabungan yang hanya akan ditebang ketika mereka membutuhkan uang. Dengan ditanamnya pepohonan di sisi-sisi lahan, lahan pertanian menjadi lebih sejuk. Suhu yang lebih tinggi akan membuat tanaman mekar lebih cepat tetapi mengurangi hasil. Ngudi Mulya dan Melati dilatih membuat pupuk organik dari kotoran hewan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kotoran hewan yang diubah menjadi pupuk organik dapat meminimalkan emisi metana, karena metana 20 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida.

Hasil pertukaran pengetahuan di masyarakat kemudian dibagikan dalam lokakarya bertema “Menerjemahkan informasi iklim untuk masyarakat” yang diadakan pada 4 Oktober 2022 dalam sesi hybrid di Disaster Oasis Instruction Centre. Workshop ini mempertemukan 36 peserta dari anggota dan mitra GNDR di Indonesia. Beberapa poin kunci:

  • Analisis knowledge iklim dapat menambah wawasan dan memandu tindakan antisipatif untuk hasil yang ideal. Penting untuk mengetahui informasi iklim dasar seperti variabilitas curah hujan, radiasi, suhu, arah angin dan kelembaban. Informasi ini dapat ditemukan di situs world-wide-web BMKG, serta sumber terpercaya lainnya. Selain itu, masyarakat setempat dapat memasang alat untuk mengukur curah hujan seperti ombrometer. Semakin banyak alat yang dipasang di lokasi topografi yang berbeda, semakin mewakili facts yang dikumpulkan. Hasil pencatatan curah hujan ini dapat digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan, seperti awal musim tanam, jenis tanaman, dll.

  • Pengelolaan terpadu harus dilaksanakan untuk melihat tindakan yang dilakukan berkontribusi pada pengurangan emisi. Peternakan kambing yang di satu sisi menghasilkan emisi tinggi namun meningkatkan perekonomian, harus dibarengi dengan upaya pengurangan emisi seperti penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk melalui proses aerobik.

  • Meskipun peran badan iklim sangat penting, kurangnya sumber daya dapat menjadi tantangan untuk memastikan publik dapat memperoleh informasi yang mudah dipahami. Di sinilah peran LSM, organisasi masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya sebagai mediator dalam menerjemahkan informasi iklim sehingga dapat dipahami oleh masyarakat lokal – misalnya melalui gambar, bahasa lokal, visual berwarna, dll. – menjadi dasar pengambilan keputusan dalam kehidupan dan penghidupan mereka.

  • Pemetaan pemangku kepentingan merupakan langkah penting dalam menerjemahkan informasi iklim. Aktor yang berbeda akan menghadapi dampak perubahan iklim yang berbeda. Perempuan secara tidak proporsional terpengaruh oleh perubahan iklim. Untuk itu, hambatan, tantangan, dan kapasitas kelompok yang paling berisiko perlu diidentifikasi agar mereka dapat terlibat aktif dalam aksi mitigasi dan adaptasi. Apalagi tindakan yang diambil tidak membahayakan nyawa mereka.

READ  Beyond Web Zero: Memperkuat Mitigasi Perubahan Iklim dengan Menghubungkan ke Tujuan Pembangunan

Ditulis oleh Jessica Novia
Diedit oleh Debora Utami

Written By
More from Faisal Hadi
Peluncuran portal bisnis Indonesia-Pakistan – UrduPoint
Dewan Investasi & Perdagangan Punjab (PBIT), Kedutaan Besar Republik Indonesia di Islamabad...
Read More
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *