Pada akhir Oktober, Italia menjadi tuan rumah KTT G-20 di tengah tahun pandemi lainnya. Dampak multidomain dari pandemi ini tercermin dalam tema KTT G-20 tahun ini: “People, World, Prosperity”. Dunia kita dan khususnya negara-negara G-20 sedang bergulat dengan dampak buruk dari pandemi COVID-19, yang telah membahayakan keamanan manusia dan kesejahteraan ekonomi. Pada saat yang sama, perubahan iklim terus mengancam keamanan penduduk dunia.
Dengan demikian, KTT G-20 di Roma memang sangat penting, karena ditugasi bekerja tidak hanya untuk menangani konsekuensi pandemi tetapi, di atas segalanya, untuk menegaskan kembali integritas dan keberlanjutan multilateralisme.
Presiden Indonesia Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi menghadiri KTT G-20 dengan berbagai agenda penting, seperti partisipasinya dalam sesi ekonomi dan kesehatan world wide serta pertemuan dengan beberapa mitranya. Dia berhasil melakukan pertemuan sampingan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Pertemuan para pemimpin sangat relevan setelah hampir dua tahun pertemuan digital dan setelah perkembangan terakhir terkait dengan AUKUS di wilayah tersebut.
Karena kesehatan dan ekonomi terkait erat selama pandemi ini, para pemimpin G-20 telah menyepakati beberapa pendekatan. Mereka sepakat untuk membangun strategi kesiapsiagaan pandemi yang lebih kuat, termasuk membuat protokol kesehatan antara negara bagian dan tata kelola di luar WHO untuk mitigasi dan pendanaan penyakit. Sejak awal pandemi, setiap negara cenderung memobilisasi sumber dayanya sendiri dan fokus pada wilayahnya, daripada memprioritaskan bantuan ke negara lain yang membutuhkan.
Jokowi menyimpulkan masalah tersebut dengan pesan satu baris: “memperkuat infrastruktur kesehatan global”. Rujukannya pada pengelolaan kesehatan masyarakat sebagai “infrastruktur” menekankan bahwa pengelolaannya harus dilakukan secara stabil, berkelanjutan dan sistemik, dan tidak hanya melalui mekanisme sementara.
Indonesia juga aktif tersirat mendorong ekosistem keuangan yang tangguh dan berkelanjutan. Sebagai salah satu perhatian utama Indonesia, Jokowi mendesak semua negara G-20 untuk mendorong inklusi keuangan, terutama usaha kecil dan menengah (UKM) dan masyarakat yang tidak dapat dijangkau melalui layanan perbankan. Indonesia telah berulang kali menyerukan reformasi keuangan world-wide, termasuk mengusulkan jaring pengaman keuangan world untuk membantu negara-negara miskin dan terbelakang bertahan di tengah krisis keuangan dan beban utang yang berat.
Dua isu deklarasi G-20 yang paling terkait dengan Indonesia adalah investasi di bidang infrastruktur dan ekonomi electronic. Para pemimpin G-20 berjanji untuk lebih mengembangkan kolaborasi dengan memanfaatkan investasi publik dan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Menyadari peran penting teknologi dalam pemulihan ekonomi worldwide, negara-negara G-20 juga sepakat untuk memperkuat kerja sama internasional untuk transformasi dan inklusi electronic. Keselarasan dengan Jokowi Perkataan Pada KTT Bisnis dan Investasi ASEAN seminggu sebelumnya, Indonesia siap membantu membawa ekonomi world dan regional untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan dunia digital.
Klausul lain dari G-20 pernyataan mencakup upaya untuk menyediakan pembiayaan berkelanjutan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Para pemimpin mengingatkan tujuan memobilisasi 100 miliar dolar for every tahun hingga 2025, yang akan diberikan oleh negara-negara maju untuk mendukung negara-negara berkembang dalam memerangi perubahan iklim. Indonesia, seperti negara berkembang lainnya, menegaskan bahwa transisi energi dan semua upaya untuk mencapai tujuan emisi nol bersih harus terjangkau. Pendanaan untuk memenuhi komitmen perubahan iklim sangat penting, dan itulah yang diminta Indonesia.
G-20 di Italia memiliki makna khusus bagi Jakarta, karena Indonesia mengambil alih kursi kepresidenan untuk tahun 2022. Kepemimpinan secara politis merupakan ujian penting bagi komitmen Jokowi terhadap kebijakan luar negeri, yang terutama digambarkan sebagai introvert dan pragmatis. Sebagai presiden G-20 tahun depan, Indonesia tidak hanya bertugas membuktikan ketahanan ekonomi negara, tetapi juga menunjukkan pengaruhnya dalam menavigasi arah masa depan multilateralisme. Beberapa kata kunci akan tetap menjadi pedoman utama G-20 Indonesia: mempromosikan ekonomi worldwide yang tangguh, stabil, berkelanjutan, dan inklusif. Pertanyaannya adalah bagaimana kata kunci ini akan diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret dan dapat ditindaklanjuti pada akhirnya.
G-20 di Indonesia akan bertemu setelah tiga tahun pandemi, yang berarti pemulihan ekonomi yang nyata dan nyata tidak lagi menjadi pilihan. Komunitas internasional juga akan mempertimbangkan untuk memantau pelaksanaan komitmen yang dibuat di COP26. G-20 di Italia adalah dihukum untuk “kurangnya ambisi dan visi” dan tidak mencapai waktu COP26, khususnya dengan menetapkan tujuan yang tidak jelas dari nol emisi karbon. Kecaman serupa dapat muncul tahun depan setelah KTT di Indonesia jika hasil iklim tetap tidak ambisius dan tidak jelas.
G-20 di Roma juga diisi dengan nuansa adu kekuatan besar. Presiden AS Joe Biden secara terbuka kritis China dan Rusia untuk tidak hadir di KTT atau di COP26 dan tidak berpartisipasi secara langsung dalam dialog penting. Indonesia akan menghadapi perjuangan berat untuk memastikan bahwa persaingan strategis di antara negara-negara ekonomi utama dapat diubah menjadi hasil yang konstruktif dan sehat selama tahun kepemimpinan G-20.
Deklarasi yang mengikuti KTT G-20 di Roma ini penuh dengan pengakuan, penegasan dan pengulangan atas apa yang telah dilakukan oleh negara-negara terkaya di dunia di masa lalu. Sisi positifnya, ada tujuan agar kebijakan ini berkelanjutan dan dimasukkan ke dalam resolusi lain yang relevan namun, G-20 harus membawa ide dan aspirasi baru agar tidak hanya dilihat sebagai “pohon natal” dengan hiasan bekas.
“Sarjana musik ekstrem. Penggemar kopi yang ramah. Penginjil makanan. Pembaca hardcore. Introvert freelance. Pengacara Twitter.”