Murdijati Gardjito mengabdikan dirinya untuk meneliti dapur-dapur “Nusantara”

Murdijati Gardjito mengabdikan dirinya untuk meneliti dapur-dapur “Nusantara”
Murdijati Gardjito
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Murdijati Gardjito

Selama puluhan tahun, Murdijati Gardjito yang berusia 81 tahun telah mengabdikan dirinya untuk meneliti tradisi kuliner Indonesia. Dia telah menulis lebih dari 70 buku, terutama tentang masakan Nusantara. Di usia senjanya, Murdijati masih semangat berbagi ilmu untuk mempromosikan makanan tradisional Indonesia.

Murdijati telah mengajar sejak tahun 1966 di Fakultas Teknik Pertanian (FTP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pada tahun 2007 diangkat sebagai Guru Besar Ilmu dan Teknik Pangan FTP UGM. Selain mengajar, Murdijati juga seorang peneliti dan penulis yang rajin.

Murdijati memiliki sejarah panjang meneliti makanan tradisional sejak dibukanya Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) di UGM pada tahun 1996. Pada tahun itu, pemerintah meminta enam perguruan tinggi, termasuk UGM, untuk mendirikan pusat penelitian makanan tradisional. .

Baca juga :

> Djulaeha, Persembahan Kuliner Cihapit Corner

“Saat itu pemerintah melihat sistem pangan Indonesia perlu diperkuat. Jajanan tradisional merupakan salah satu elemen untuk membentengi sistem pangan kita,” kata Murdijati saat berkunjung ke kediamannya di Yogyakarta, Jumat (14/4/2023).

Menurut Murdijati, literatur masakan Indonesia masih sangat langka saat itu. Bahkan sebagian besar buku ajar yang digunakan di FTP UGM diisi dengan masakan luar negeri, terutama dari negara maju.

Situasi tersebut mendorong Murdijati dan beberapa guru besar FTP UGM lainnya untuk meneliti makanan tradisional Indonesia, dengan fokus pada aspek budaya, seperti yang diminta oleh pemerintah.

“UGM saat itu diminta memimpin penelitian budaya. Ini bertujuan untuk mengakar lebih dalam dalam pengembangan makanan tradisional,” kata Murdijati, yang memimpin PKMT UGM pada 2003-2007.

Sejumlah buku karya pakar kuliner Murdijati Gardjito di kediaman penulis di kawasan Kemetiran, Yogyakarta, Jumat (14/4/2023).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sejumlah buku karya pakar kuliner Murdijati Gardjito di kediaman penulis di kawasan Kemetiran, Yogyakarta, Jumat (14/4/2023).

Dengan aktivitasnya di PKMT UGM, ia kemudian sering mendapat undangan dari instansi pemerintah sebagai narasumber atau sumber referensi makanan tradisional daerah. Suatu hari, Pemkab Tuban di Jawa Timur memintanya meneliti makanan tradisional daerah tersebut.

READ  Info gempa: mag. 4.4 gempa

Untuk memudahkan kajian, Murdijati meminta Pemkab Tuban menyelenggarakan festival kuliner yang menampilkan berbagai masakan khas Tuban. Dia kemudian menulis buku, Orang Tuban: Irama Nikmatnya Masakan (Pesona Tuban: Irama Masakan Enak, 2004), mendokumentasikan aneka masakan Kabupaten.

“Itu adalah buku pertama yang saya tulis,” katanya.

Baca juga :

> Sinta Banana, Toko Keripik di Lampung berbagi ilmu bisnisnya

> Edi Azhari, mempopulerkan kopi Tangse

Murdijati telah menerima semakin banyak permintaan serupa. Dari Kabupaten Lamongan, tahun 2007 ia menulis buku berjudul Makanan Khas Nusantara Kabupaten Lamongan (Makanan Nusantara Kabupaten Lamongan).

Murdijati terus menulis buku masakan tradisional dari beberapa daerah, antara lain Citarasa dan Keragaman Tradisi Kuliner Banten (Rasa dan Ragam Tradisi Kuliner Benten, 2010), Menu Favorit Para Raja: Potret Kekayaan Kuliner Yogyakarta “Kersanan Ndalem” (Hidangan Favorit Raja: Potret Kekayaan Kuliner Keraton Yogyakarta, 2010), dan Serba-Serbi Tumpeng: Tumpeng dalam Kehidupan Masyarakat Jawa(Variasi dari tumpeng: Kerucut Nasi Kuning dalam Kehidupan Jawa, 2010). Dia juga telah menulis banyak buku dengan penulis lain.

Pegunungan dokumen

Mulai tahun 2003, Murdijati mulai mendata makanan Nusantara dengan bantuan beberapa pihak. Salah satu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menyebarkan kuisioner kepada mahasiswa UGM yang menanyakan tentang kuliner dan masakan kampung halaman. Sebagai gantinya, mereka menerima voucher makan gratis untuk sebuah restoran di dekat universitas.

Murdijati juga mengumpulkan data dari berbagai lembaga pemerintahan dan organisasi budaya. “Saya mengumpulkan buku masak yang ditulis oleh orang-orang terkenal,” ungkapnya.

Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Murdijati Gardjito berbicara pada peluncuran tiga buku jajanan Indonesia, Kamis (30/3/2023), di Farm kampus Fakultas Teknologi UGM, Kabupaten Sleman, Yogyakarta Istimewa Wilayah..
KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Murdijati Gardjito berbicara pada peluncuran tiga buku jajanan Indonesia, Kamis (30/3/2023), di Farm kampus Fakultas Teknologi UGM, Kabupaten Sleman, Yogyakarta Istimewa Wilayah..

Pengumpulan data berlangsung hingga 2012 dan mengumpulkan sejumlah besar dokumen. Murdijati bahkan menyebut tinggi dokumen itu mencapai 169 sentimeter. “Dokumen-dokumen itu lebih besar dari tubuhku,” tambahnya.

READ  Opini: Spesies hominin lain mungkin masih hidup | TS Abstrak

Dengan banyaknya dokumen yang terkumpul, Murdijati tidak tahu bagaimana menyusun informasi secara sistematis. Untungnya, siswa membantunya membuat program komputer untuk mengurutkan data.

Dia mengatakan perangkat lunak berbasis web membutuhkan waktu hingga dua tahun untuk dikembangkan karena menyortir data memakan waktu. Setelah program siap, dia mulai mengelompokkan makanan berdasarkan wilayah. Setiap daerah memiliki ciri khas kuliner tertentu.

“Saya membagi Indonesia menjadi 34 daerah kuliner,” kata Murdijati.

Dokumen-dokumen itu lebih besar dari tubuhku.

Menurut pengelompokannya, ada 11 daerah kuliner di Jawa, sembilan daerah kuliner di Sumatera, enam di Sulawesi, tiga di Kalimantan dan satu daerah kuliner di Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Maluku.

Hasil penelitiannya dirangkum dalam buku, Profile Struktur, Bumbu, dan Bahan dalam Kuliner Indonesia (Profil Struktur, Bumbu dan Bahan Masakan Indonesia, 2017). Murdijati menganggap buku tersebut sebagai tonggak penelitian masakan Indonesia, karena menyajikan klasifikasi yang sistematis dari berbagai masakan yang terdapat di Nusantara. Belakangan, Murdijati menghasilkan dua jilid tentang gastronomi Indonesia, sehingga sering disebut sebagai pelopor gastronomi Indonesia.

Ia melanjutkan kegiatan ilmiahnya dengan menerbitkan seri 15 buku, Pusaka Cita Rasa Indonesia (Warisan citarasa Indonesia). Dalam serial tersebut, ia mengelompokkan hidangan ke dalam berbagai jenis, seperti hidangan utama, makanan dan minuman lengkap, serta makanan pelengkap dan tambahan. Ke-15 buku tersebut ditulis antara tahun 2014 dan 2019. Namun, belum semua jilid diterbitkan, bahkan beberapa jilid masih menunggu untuk dicetak. Dari Pusaka Cita Rasa Indonesia seri yang telah diterbitkan adalah tiga buku tentang jajanan Nusantara.

Baca juga :

> Zahra Khan, menghidupkan kembali masakan lokal Gorontalo

Pusaka Cita Rasa Indonesia bisa dibilang adalah magnum opus Murdijati, karena seri ini secara komprehensif mewakili penelitiannya selama puluhan tahun. Sementara itu, menulis buku tidaklah mudah karena Murdijati mengalami gangguan penglihatan sejak 2015. Namun dengan bantuan beberapa asisten, dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

READ  Memperkuat kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang disiplin di wilayah sasaran

Kini berusia 80 tahun, Murdijati masih berbicara di berbagai forum dan menjadi penasehat baik mahasiswa maupun peneliti. Ia ingin terus berbagi ilmu agar masyarakat semakin mencintai makanan Indonesia.

Murdijati Gardjito

Dilahirkan:Yogyakarta, 21 Maret 1942

Pendidikan: PhD di Universitas Gadjah Mada (angkatan 1999)

Pekerjaan:

– Guru Besar (pensiunan), Fakultas Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada

– Penulis dan peneliti makanan tradisional Indonesia

Penghargaan, antara lain:

– Foodbank of Indonesia Model Woman II Award 2021 (2021)

– Penghargaan Universitas Gadjah Mada (2019)

– Lifetime Achievement Award, Ubud Food Festival (2019)

– Sertifikat Berjasa dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai Peneliti, Kurator dan Pengembang Seni Kuliner Indonesia (2013)

– Sertifikat Penghargaan dari Gubernur DIY atas Prestasi dan Jasa Pengawetan Pangan Tradisional (2011)

Artikel ini diterjemahkan oleh Aris Prawira.

Written By
More from Faisal Hadi
Peta hutan bakau yang hilang
Lahan basah pasang surut dapat berubah dengan cepat. Sebuah studi baru tentang...
Read More
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *