Pergerakan ibu kota Indonesia mencerminkan Belanda

Pergerakan ibu kota Indonesia mencerminkan Belanda

Tangerang (Indonesia), 9 Januari (360info) Meninggalkan ibu kota yang bermasalah bukanlah fakta baru dalam sejarah Indonesia.

Indonesia akan memindahkan ibu kota Jakarta, seperti yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia, Belanda, lebih dari 200 tahun yang lalu.

Ibukota baru yang akan berada di Kalimantan ini ditakdirkan sangat berbeda dengan Jakarta yang berada dalam kesulitan karena tenggelam dengan banjir, polusi dan kemacetan yang tak berkesudahan menambah kesengsaraannya.

Masalah serupa melanda Belanda pada akhir 1700-an dan awal 1800-an, mendorong perpindahan dari bekas ibu kota ke Jakarta saat ini.

Pengulangan atas apa yang telah dilakukan oleh penjajah ini menjadi benang merah yang menarik dari teori pascakolonial.

Teori postkolonial meninjau kembali, mengenang dan mempertanyakan perkembangan suatu bangsa pasca kolonialisme.

Ini berusaha untuk mempelajari hubungan antara penjajah dan terjajah, serta bagaimana kebijakan dan sikap kolonial mempengaruhi kedua negara.

Salah satu ciri dari kondisi pascakolonial adalah “amnesia politik”, keinginan untuk menghapus kenangan akan subordinasi kolonial dan sejarahnya yang menyakitkan.

Teori ini mengeksplorasi hubungan simbiosis antara penjajah dan terjajah sebagai ditempati oleh keadaan kebencian dan keinginan.

Bangsa pascakolonial ingin membedakan dirinya dari penjajahnya, tetapi ia membedakan dirinya dalam kerangka kolonialisme.

Nasionalisme muncul sebagai proyek modernisasi diri yang seringkali didasarkan pada bentuk pemerintahan kolonial yang dikompromikan.

Dalam kasus Jakarta, ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda menyerbu kota tersebut dan membangun benteng Belanda pada tahun 1619, Batavia (sekarang Jakarta) diubah dari pusat pasokan untuk perdagangan kolonial menjadi pusat kekuasaan Belanda.

“Pusat Kota Batavia” (sekarang Kota) dikelilingi tembok benteng dan sungai. Beberapa benteng di sepanjang tembok melindungi kota dari serangan musuh.

Benteng dan jaringan kanal menunjukkan bahwa kota ini dirancang sebagai Amsterdam kecil.

READ  Informasi gempa: sedang mag. 4.6 gempa bumi

Meskipun kota itu seharusnya berfungsi seperti kota Belanda, kelembapannya ternyata tak tertahankan. Kanal dan sungai menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Malaria dan demam berdarah menyebar dengan mudah.

Sungai yang tercemar berat telah menjadi tempat berkembang biak kolera, diare, dan penyakit kulit.

Kota itu tidak sehat dan dalam kondisi buruk. Sebagian besar penduduk mulai meninggalkan kota yang membusuk dan pindah ke selatan.

Setelah Napoleon Bonaparte menaklukkan Belanda pada tahun 1806, saudaranya Louis naik tahta Belanda. Terjadilah transfer kekuasaan yang jelas dari Belanda ke Prancis.

Louis mengutus Daendels, Gubernur Jenderal Batavia yang baru, untuk menata ulang kota.

Ide pertamanya adalah memindahkan ibu kota tua yang jelek itu ke daerah yang lebih sehat beberapa mil ke selatan, di pinggiran kota bernama Weltevreden.

Di sini ada dua kawasan yang menjadi pusat kekuasaan baru: Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dan Koningsplein (sekarang Lapangan Merdeka).

Daendels merobohkan tembok kota lama dan mendirikan Weltevreden sebagai pusat kekuasaan baru.

Dia membangun istananya yang megah di sana di depan ruang terbuka yang luas. Sementara kota tua dikenal sebagai Pusat Kota Batavia, pusat kekuatan kolonial Prancis yang baru dikenal sebagai “Batavia Bagian Atas”. Penggantian nama kota ini secara resmi menandai peralihan kekuasaan dari kekuasaan kolonial Belanda ke kekuasaan kolonial Prancis.

Weltevreden digambarkan sebagai “Miniatur Batavia Napoleon”. Namun, tidak seperti pusat kota Batavia, sistem jaringan Weltevreden lebih ditentukan oleh jalan daripada kanal.

Sisa-sisa kota kolonial Perancis ini masih terlihat sampai sekarang. Ada pola di tempat kekuasaan dan kolonialisme.

Pertama, daripada memperbaiki kota tua, pemerintah kolonial lebih memilih lokasi baru dan membangun dari awal.

READ  Berita luar angkasa dan astronomi 2023: apa yang diharapkan

Kedua, setiap pemerintah kolonial membentuk identitasnya sendiri dengan mendirikan pusat kekuasaan yang berbeda dengan simbolisme sebelumnya. Itu adalah bagian dari proses menempa warisan baru yang berbeda dari penguasa lama.

Jakarta tetap menjadi pusat kekuasaan di era pascakolonial. Kota itu meluas ke selatan, mengikuti poros bekas penjajah.

Bangunan-bangunan seperti Monumen Nasional di bekas situs Koningsplein, Simpang Susun Semanggi, Gedung DPR dan Stadion Gelora Bung Karno, serta pengubahan bekas Istana Gubernur Jenderal dan Rumah Dinas Jenderal Gubernur menjadi Istana Merdeka (Istana Merdeka) dan Istana Negara, mencerminkan dilema pascakolonial: membenci bekas penjajah padahal ingin menyerupainya.

Beberapa dekade kemudian, Jakarta telah menjadi megacity dengan perkiraan populasi 11 juta jiwa. Namun kota ini mengalami masalah serius seperti konsentrasi penduduk, ekstraksi air tanah yang berlebihan, penurunan tanah dan banjir, menjadikannya kota yang paling cepat tenggelam di dunia.

Jakarta juga memiliki reputasi buruk untuk kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi, dan bencana alam.

Upaya untuk menyelamatkan kota yang tenggelam adalah membangun tiga lapis tanggul untuk melindungi kota dari banjir.

Tembok Laut Garuda raksasa telah banyak dikritik karena akan menutup Teluk Jakarta dan merusak lingkungan sementara pembangunannya sangat mahal.

Tidak seperti solusi yang benar-benar mengatasi penyebab banjir, proyek ini hanyalah pendekatan teknologi yang sangat berat.

Pada 2019, pemerintah memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Ibukota baru mewakili mimpi baru dan visi baru: cerdas dan berkelanjutan, tangguh, ramah lingkungan, demokratis, sehat secara ekonomi dan bebas dari bencana lingkungan, polusi dan lalu lintas.

Namun demikian, tema-tema pascakolonialisme ini muncul. Alih-alih menangani masalah Jakarta saat ini, pemerintah pascakolonial memilih mencari lokasi baru dan membangun ibu kota baru dari nol.

READ  Gunung Merapi di Indonesia meletus, memuntahkan 'longsoran' lahar

Redefinisi identitas Indonesia ini menonjol di era pascakolonial.

Meminjam gaya internasional di bawah Presiden Sukarno, kembali ke tradisionalisme di bawah Presiden Suharto, dan sekarang kota-kota pintar yang berkelanjutan di bawah Jokowi semuanya mencerminkan kebencian dan kerinduan bangsa pasca-kolonial terhadap kolonialisme. (360info.org)FZH

(Cerita ini belum diedit oleh tim Devdiscourse dan dihasilkan secara otomatis dari umpan sindikasi.)

Written By
More from Faisal Hadi
Kunjungan Kerja Konjen RI ke Hermanus, Western Cape
22 Desember 2021 • • Unduh logo Pada 19-20 Desember 2021, Konjen...
Read More
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *