Sukarno, ditambah Suharto – Editorial

Dewan Redaksi (The Jakarta Submit)

Jakarta
Jum 25 Juni 2021

2021-06-25
01:00

6281d9f905b49edfeb97b8e90313f566
1
Tajuk rencana
Joko-Widodo, Sukarno, Soeharto, Konstitusi, amandemen, masa jabatan, perpanjangan, demokrasi, reformasi
Melepaskan

Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam beberapa kesempatan – terkadang dengan nada tegas – mengesampingkan kemungkinan bahwa dia akan menjalani masa jabatan ketiga ketika masa jabatannya berakhir pada Oktober 2024. Dia menyebut upaya mereka yang mendukung perpanjangan masa jabatan tamparan itu. . wajah dan bentuk penghinaan.

Tetapi penolakan publik Jokowi atas niat untuk mempertahankan kekuasaan setelah tahun 2024 tidak menghentikan retorika tentang masa jabatan presiden ketiga. Ada pendukung setia Jokowi dan jelas beberapa elit politik yang mendukung narasi bahwa Indonesia tidak punya pilihan selain membiarkan Jokowi memerintah lebih lama.

UUD 1945 yang telah diamandemen dengan jelas membatasi masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun agar tidak terulangnya penyalahgunaan kekuasaan dan kemunduran demokrasi konstitusional seperti yang terlihat di masa lalu. Selama 53 tahun setelah kemerdekaan dari Indonesia pada tahun 1945, bangsa mengizinkan dua orang kuat, Sukarno dan Soeharto, untuk memerintah dan membimbing negara sesuai dengan keinginan mereka.

Sukarno berkuasa selama 21 tahun dan Soeharto selama 32 tahun, di mana mereka bertindak sebagai diktator yang tidak meninggalkan ruang untuk oposisi atas nama persatuan nasional. Konstitusi pada zamannya tidak mengenal batasan masa jabatan presiden karena hanya mengatur bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih kembali.

Pelanggaran demokrasi paling serius di bawah Sukarno terjadi pada tahun 1963 ketika ia mengangkat dirinya sendiri, melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), presiden seumur hidup Indonesia. Penggantinya, Soeharto, mengikuti taktik yang sama dengan mengatur “persetujuan bulat” oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk berulang kali memilihnya kembali sebagai presiden.

Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, meninggalkan birokrasi yang korup dan ekonomi yang sedang berjuang yang terpukul keras oleh krisis keuangan Asia, tetapi membuka jalan bagi reformasi besar-besaran yang mencakup kembalinya demokrasi. Dalam semangat reformasi, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali untuk membuka jalan bagi pemilihan presiden secara langsung dan memastikan bahwa presiden hanya dapat menjabat dua kali masa jabatan lima tahun.

Setelah jatuhnya Soeharto, bangsa ini bersumpah untuk tidak mengulangi tragedi otoritarianisme. Demokrasi Indonesia yang diraih dengan susah payah telah memberikan kembali hak kepada rakyatnya untuk memilih pemimpin nasional mereka dan, sebagian besar, telah memberikan lahan subur bagi para pemimpin lokal untuk naik pangkat dalam politik nasional. Dalam hal ini, Jokowi berutang kenaikan ke jabatan tertinggi kepada Reformasi (Reformasi).

Kami percaya pada ketulusan Jokowi untuk menegakkan Konstitusi dan menahan diri untuk tidak membunuh pembaruan semangat dengan melakukan manuver politik untuk mengamandemen UUD yang memungkinkannya mencalonkan diri sebagai presiden pada 2024. Namun tiga tahun sebelum pemilu, banyak hal bisa terjadi, termasuk Jokowi yang berubah pikiran di saat-saat terakhir.

Dalam gaya politik Indonesia yang halus ini, penolakan berulang juga bisa berarti konfirmasi.

Atas nama kebebasan berekspresi, kita tentu tidak bisa melarang aspirasi kelompok atau individu untuk perpanjangan masa jabatan presiden. Namun jika itu terwujud, dampak negatifnya terhadap demokrasi Indonesia akan mendunia, seperti yang terjadi di masa lalu.

Seperti kata pepatah lama: “Bahkan seekor keledai tidak jatuh dua kali di lubang yang sama”. Ketika kita membiarkan Jokowi mengikuti jejak Sukarno dan Soeharto dengan membajak demokrasi prosedural, apakah itu berarti kita lebih bodoh dari keledai?

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *